PERSIS At the Crossroads:
Lalu apa?
Oleh : Malki Ahmad Nasir
Semenjak didirikannya tahun 1920-an, PERSIS sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam telah banyak mengarungi bahra lautan, banyak gagasan yang dibawa oleh ormas ini untuk ditindaklanjuti dan dipertahankannya, dan gagasan-gasasan tentang keislaman ini masih relevan untuk tetap dijadikan solusi dalam kasus-kasus kontemporer, sebab framework yang dibawa tidak hanya sekedar bersifat karitatif tapi ia berwujud dalam ungkapan bahasa sekarang, Islamic worldview, artinya ini menyangkut dengan masalah yang fundamental dalam beragama. Kalau pun ada dan kurang relevan maka usaha rekonstruksi, kritik dan evaluasi terhadapnya sudah mencukupi. Dan merupakan suatu kewajaran kalau ada kekurangan, lain halnya kalau visi dan misi yang bersifat worldview itu, sebut saja begitu, dibongkar atau didekonstruksi, maka hal ini tidak hanya usaha untuk mengkritisi tapi menghancurkannya, dengan kata lain ia membongkar semua yang sudah bersifat fundamnetal dengan tidak menyisakan sebarang apapun.
Berkaitan dengan banyaknya permasalahan yang harus disikapi oleh PERSIS, mulai dari kurangnya SDM yang dimilikinya, mengakibatkan PERSIS kurang peka terhadap permasalahan yang semakin kompleks dan bersifat kekinian, sehingga berujung respon yang dikemukakannya terkesan apologetik dan reaktif. Juga ia tidak lagi dipandang sebagai ormas Islam yang berani tampil sebagai garda depan. Wajar kalau kemudian suaranya tidak lagi diperhitungkan baik dalam tampil dipentas nasional ataupun –boro-boro-- dipentas internasional. Peran ini sangat terbalik dengan apa yang pernah dilakukan oleh PERSIS dulu. Belum lagi permasalahan tentang larangan PERSIS yang secara organisatoris terhadap anggota-anggotanya untuk terjun di dunia politik, sehingga bukan dukungan yang didapat oleh anggota PERSIS tapi pengucilan. Dan yang terkini adalah semakin memudarnya kepeduliaan di kalangan tokoh-tokoh PERSIS terhadap pondok persantren. Pondok pesantren bukan lagi tempat untuk berdakwah dalam arti yang sesungguhnya, yaitu melahirkan generasi yang betul-betul menguasai pembacaan terhadap khazanah klasik sejak dini tanpa melupakan budaya kesantrian, tetapi ia telah dianggap berhasil kalau sudah mengeluarkan santri-santrinya, laiknya seperti sekolah-sekolah yang lain. Dengan kata lain, agenda utama PERSIS yang selama ini diusung, yaitu bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan telah terbengkalai.
Lalu, prioritas apa yang perlu dibenahi dalam tubuh PERSIS? Bagaimana pula memoles visi dan misi yang diusung oleh PERSIS supaya tetap bersosok sebagai ormas Islam yang berwibawa, berpendirian dan punya tradisi dalam keilmuan? Jika begitu, persoalan dalam mengekspresikan dirinya dengan terjun ke panggung politik, saat kran kebebasan politik dibuka lebar-lebar oleh pemerintah, tidak perlu dirisaukan lagi dengan adanya kebijakan untuk mempertahankan sikap, seperti menjaga jarak, atau kalau perlu keluar dari hinggar-bingar persoalan-persoalan politik tersebut. Begitu juga, keterlibatan para ulama PERSIS dalam menjawab berbagai isu-isu yang berkembang dan kompleks, bisa manjadi tauladan dan pemicu para pemuda dan santri PERSIS untuk lebih mengapresiasi ilmu, tentunya para ulama tersebut harus sering berinteraksi dalam tradisi ilmu, dan yang paling penting waktunya tercurahkan dengan meng-ngiyai di pesantren. Dengan begitu, ini semua menjadi bagian dari tantangan bagi pengembangan kiprah PERSIS sendiri, dan bukan sebaliknya menjadi beban.
Nah tulisan ini akan meyorot serta menelusuri permasalahan-permasalahan yang pemulis coba kemukakan dalam tubuh PERSIS sebagai ormas islam, tidak dinafikan juga kekeliruan-kekeliruan berbagai asumsi yang dipakai oleh berbagai tokoh-tokoh PERSIS sendiri berkaitan dengan isu-isu terjun ke gelanggang politik, kemorosotan kiprah Persis di berbagai elemen, baik dalam merespon isu-isu kontemporer ataupun isu-isu yang berkaitan dengan dunia sains dan teknologi, sampai isu tentang kekeringan memproduk SDM yang mampu berbicara di level nasional kalau perlu di international.
Dalam pengantarnya buku Warisan Terakhir Ustad A. Latief Muchtar (Bandung: 1998:), Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa ormas PERSIS pun telah dan pasti mengalami seperti gerakan ormas sosial yang lainnya, yaitu melewati tahapan-tahapan: pendahuluan, popularisasi, formalisasi, dan institusionalisasi. Nah pada tahap pendahuluan ini, katanya, (preliminary stage) PERSIS muncul dalam sosok bagaimana mengatasi masalah umat yang dianggap sangat mendesak. Maka pada saat ini, kepemimpinan pun belum terpusat dan program yang jelas belum terumuskan. Pada tahap inilah pemimpin hanya inisiator. Selanjutnya, pada tahap popularisasi muncul pemimpin yang berwujud agitator. Ia menyebarkan gagasannya secara meluas. Ia beragumentasi, berdebat, dan berpolemik dengan berbagai pihak. Pada tahap kedua inilah muncul ‘jago debat’ seperti A.Hassan. Lalu pada tahap ketiga, yaitu formalisasi, para elite pimpinan PERSIS mulai merumuskan cita-cita, keyakinan, dan tujuan dengan jelas. Pada tahap ini pemimpin harus adalah seorang ideolog, karena Ia merumuskan dan menjelaskan ideologi ormas tersebut. Dan berbagai saluran komunikasi dengan massa pengikut mulai digunakan. Pada tahap ini juga berbagai media PERSIS lahir dan berkembang. Dan terakhir tahap institusionalisasi, adalah gerakan sosial sudah solid dan sebagian besar tujuannya sudah tercapai. Masyarakat sudah menerima kehadirannya. Tidak lagi diperlukan “militansi” dan hiruk-pikuk gerakan seperti pada tingkat-tingkat awal. Karenanya tugas pemimpin pada tahap ini adalah stabilisator, yang artinya memelihara organisasi dan mempertahankannya. Dengan kata lain, gerakannya lebih dititikberatkan pada pendekatan yang luwes, tidak boleh ekslusif, tapi bukan berarti tidak punya pendirian nahy munkar, committed to the truth adalah tetap menjadi bagian dari agenda bersama-sama dengan banyak menghidupkan dakwah yang mengedapankan silaturahmi dan komunikasi yang bermampaat.
Dengan kata lain, gerakannya tidak bersifat fight against (untuk memberantas), yaitu bersifat reaktif, melainkan fight for ( untuk memperjuangkan), bersifat proaktif, karena itu, dalam mewujudkan agenda-agenda amar ma’ruf wa nahy munkar, tidak lagi berasas pada semangat yang berapi-api, melainkan dituntut kemampuan teknis yang tinggi (highly qualified) dan lebih banyak mengarah kepada kecakapan problem solving daripada solidarity solving. Dan kemampuan teknis yang tinggi ini memerlukan wawasan keilmuan yang mendalam (Sekolah lagi??), disertai keterlibatan yang tulus dalam masalah-masalah kemasyarakatan.
Nah kalau sekarang, misalnya ada usulan dari kalangan pucuk pimpinan PERSIS memberikan keleluasaan kepada para anggotanya melibatkan dirinya dalam kancah politik, dengan arti yang seluas-luasnya, why not (apa salahnya)? Tokh ini juga bagian dari tugas mulia dan tugas utama dari suatu bidang garapan tentang bagaimana mencerdaskan dan sekaligus memberikan guidance kepada para kadernya dalam usaha menerapkan berpolitik praktis yang Islami, disamping itu, boleh dikatakan, sebagai upaya memberikan pendidikan politik yang benar dan sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Jadi persoalannya adalah dari mana kita memulai memandang dan memahami setiap permasalahan yang muncul, lagi-lagi beban atau tantangan? Tentunya kalau kita selalu memulai dengan sikap beban dalam setiap berinteraksi dengan isu atau masalah yang ada dihadapan kita, maka kita akan selalu menyikapinya dengan sikap pesimistik, menghindari, dan menjauhi resiko konflik baik secara internal atau eksternal.
Lain lagi kalau kita selalu mengawali keinteraksian itu dengan sikap tantangan, maka sikap kita akan lebih optimis dan tumbuh sikap percaya diri dalam menghadapi apapun, dan yang lebih penting lagi ada semacam pandangan bersikap dan berusaha untuk selalu belajar. Dengan demikian, pespektif tantangan ini sangat cocok dengan perjuangan a la fight for, bukan berarti gaya perjuangan model fight againts tidak penting, tetapi dewasa ini skala prioritas agenda utamanya perlu dirubah, setidaknya orientasinya tidak hanya pada itu saja. Penjelasan ini untuk dirumuskan pada strategi yang tepat yang setiap saat siap dan mampu menjawab isu yang berkembang di masyarakat dan PERSIS tetap menjadi ormas Islam yang dapat dijadikan tempat bertanya dalam masalah-masalah keislaman khususnya.
Dengan demikian, persoalan kehilangan daya tawar dan daya pesona pada sosok PERSIS tak perlu dirisaukan lagi, sebab orang pun akan selalu melihat pada kekuatan analisa yang terkandung dalam jawaban-jawabannya dan tidak begitu peduli pada jumlah yang secara kuantitatif kecil tetapi kualitatif tersebutlah yang sangat diperlukan.
Istilah TBC sepertinya sudah menjadi yang inherent pada tubuh PERSIS dalam mengangkat isu yang berkembang disetiap masa. Istilah TBC sendiri merupakan Abbreviation dari pada takhayyul, bid’ah dan khurafat. Namun istilah ini tidak pernah dimaknai secara lebih luas dan mendalam, padahal dalam konteks sekarang ini banyak amalan-amalan atau pun pikiran-pikiran yang sememangnya masuk dalam definisi ini. Ini tentunya ada hubungannya dengan kecakapan dan kapasitas intelektual yang dimiliki oleh kalangan ulama PERSIS dalam memberikan respon terhadap isu-isu yang seharusnya dimaknai secara lebih luas. Misalnya berbagai isu yang muncul belakangan ini tentang Al-Qur’an edisi kritis, fikih lintas agama, sekularisme, plurasme agama, kawin campur, pencabutan larangan berpindah agama (murtadd), hingga soal kesesatan sekte Ahmadiyyah, dan yang lainnya.
Sampai detik ini pernahkah PERSIS masa kini yang sebagai ormas Islam melakukan apa yang pernah dulu diperbuat pada era-era awal? Artinya kiprah PERSIS sekali lagi dipandang sebagai pioneer atau garda depan Ormas. Ini maknanya bertolak belakang, padahal era A. Hasan misalnya, PERSIS yang secara organisatoris sanggup menjadi lokomotif dalam berbagai aksi klarifikasi dan koreksi. Lalu dimana dan apa yang menjadi letak permasalahannya? Tentunya, hal ini ada kaitannya dengan penguasaan terhadap turas Islam dan Barat. Artinya dalam konteks sekarang ini tidak cukup menguasai khazanah intelektual dalam Islamic studies saja, seperti penguasaan Hadist, Qur'an, dan Fikih. Tapi juga dibutuhkan sebuah penguasaan terhadap bacaan Barat. Karena itu, para Ulama PERSIS yang akan datang diperlukan kepiawian bahasa Asing, yang dalam hal ini, tentunya bahasa Arab, karena ia digunakan untuk mengkaji khazanah Islam, dan satu lagi –minimalnya-- bahasa Inggris. Maka dengan menguasai dua bahasa international, akses terhadap ilmu, riset, dan matlumat akan begitu mudah dicapai.
Dengan begitu, dalam konteks ini, penulis sangat setuju jikalau pengiriman santri-santri ke luar negri (timur tengah atau Malaysia?) atau dalam negri dengan catatan menggunakan bahasa Asing sebagai bahasa pengantar, atau juga diberi kesempatan mangambil kursus bahasa Asing, itu pun dengan tujuan menuntut ilmu, riset dan sebagainya, menjadi sebuah kebijakan PERSIS, sebab sampai detik ini masih terasa sebagai kebijakan beberapa pesantren. Kalau hal ini berubah maka menurut hemat penulis merupakan langkah maju, apalagi kalau pengiriman-pengiriman tersebut sampai pada jenjang Master atau P.hD. Kalau hal ini terjadi, penulis tidak bisa membayangkan bagaimana mereka akan menjadi Ulama PERSIS yang akan sanggup berbicara di pentas nasional dan international serta mempunyai kapasitas penguasaan terhadap original sources. Ini tentunya investasi yang konkrit dan merupakan fardhu kifayah yang harus dilakukan oleh PERSIS. Jika ini dipenuhi, sekali lagi, kerisauan sebagian orang yang concern terhadap PERSIS akan kurangnya SDM dimasa yang akan datang tidak akan berwujud.
Dalam wawancara surat kabar delapan tahun yang lalu, ketua umum PERSIS ditanya apa yang menjadi target kesuksesan PERSIS secara umum. Ia menyatakan bahwa PERSIS semakin sukses jika orientasi kualitas anggota-semakin meningkat walaupun dari segi kuantitas mungkin menurun. Pernyataan ini tentunya dapat kita simpulkan, pertama, sebagai ungkapan apologetik atas ketidakberhasilan dan ketidakberdayaan dalam meng-upgrade anggota-anggota baru. Kedua, sebagai ungkapan yang harus dipertanyakan kembali, apakah yang dimaksud dengan peningkatan kualitas tersebut. Apakah PERSIS dengan ungkapan tersebut telah mampu mencetak SDM dengan berbagai spesialisasi yang patut dibanggakan? Atau sebaliknya, ia semakin miskin dan hampir tidak ada tokoh elite PERSIS pun yang boleh berbicara di pentas nasional. Atau mungkin sebuah penjelasan bahwa yang dimaksud dengan kualitas tersebut adalah karena telah mampu menyamakan cara ibadah ritual, atau visi dan pendapat dalam memahami Islam?
Katakanlah kalau kita terima pernyataan tesebut bahwa Persis memang lebih mementingkan kualitas, lalu kenapa tidak merubah cara perekrutan? Katakanlah, misalnya, merubah kebijakan pada pola perekrutan yang selama ini dilakukan dengan begitu kaku, seperti yang sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang masuk dan menjadi anggota Persis, ia harus di-Persis-kan dulu.
Sebab kalau cara ini diterapkan, maka dimungkinkan akan menghambat potensi para alumni pesantren yang sesungguhnya sudah mempunyai ikatan secara emosional, namun bisa saja karena masalah teknis, seperti karena potensi yang dimilikinya terpasung dan tersumbat, maka ia pasti akan berpaling ke ormas Islam lain atau karena ia diberi kesempatan dan kepercayaan penuh untuk mengembangkan potensi dirinya di ormas lain tersebut. Dan ini adalah fakta yang sebenarnya. Dan PERSIS harus mengambil pelajaran dari kasus seperti ini.
Nah jika orang-orang yang mempunyai ikatan secara emotional bisa saja melakukan seperti itu, apalagi yang masih simpatisan? Dan juga yang paling penting, PERSIS harus menghapus istilah simpatisan, sebab istilah ini pun secara sadar telah menghalang keinginan seseorang untuk membakti atau mengabdikan dirinya. Sebab mungkin dan bisa jadi kalau seseorang –yang disebut simpatisan tersebut—punya potensi, bisa jadi karena mempunyai financial, kecapakan, dan yang lainnya, dilihat dari segi pengembangan buah PERSIS sangat significant. Kalau penghapusan istilah simpatisan ini terpenuhi, yang tersisa adalah anggota atau bukan anggota. Ini akan memudahkan untuk terus meng-upgrade kuantitas para anggotanya. Bila perlu mereka-mereka tersebut diberi kartu keanggotaan.
PERSIS pun dalam konteks sekarang harus membangun gagasan yang lebih strategis yaitu dengan membangun network dan silaturahim dengan semua pihak. Misalnya banyak alumni Pesantren PERSIS (atau simpatisan) yang tidak menjadi anggota atau ia menjadi anggota tapi tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan, mungkin karena berbagai alasan, namun mereka diusahakan masih memiliki hubungan batin dengan PERSIS. Maka, menurut hemat penulis, hal tersebut, bisa dibiarkan tetapi yang paling penting perkuat resonansi mereka dengan sebuah alat yaitu menjalin dalam jaringan informasi. Dengan begitu, maka alasan menjadi lebih mementingkan kualitas akan relevan, sebab ketimbang secara kuantitatif hanya bersifat massal tapi secara kualitatif tidak menguasai jaringan-jaringan informasi tersebut. Semoga.
Searching This Blog
Tampilkan postingan dengan label PERSIS At the Crossroads. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PERSIS At the Crossroads. Tampilkan semua postingan
Rabu, 24 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)